Dikalangan Ba’Alawi, kata tarekat dipahami sebagai suatu suluk (cara ibadah) yg dilakukan oleh seseorang yang dipandang mempunyai kredibilitas sebagai tokoh. Ketokohan disini terkait dalam masalah-masalah keagamaan dan hubungannya dengan masalah-masalah kemasyarakatan secara luas.
Yang membedakan Thariqah ‘Alawiyyah dengan tarekat ialah perbedaan di antara tokoh-tokoh mereka dalam banyak masalah, diantaranya tentang masalah wirid. Hampir setiap tokoh mempunyai wirid sendiri, dan ini tidak ditemukan dalam tradisi tarekat-tarekat yang ada. Selain itu, tidak ada aturan khusus dalam mengamalkan wirid tersebut. Seandainya ada “syarat” mendapat ijazah dalam mengamalkan suatu wirid, itu hanya merupakan afdhaliyyah (keutamaan), bukan suatu keharusan. Disini tampak secara jelas bahwa Thariqah ‘Alawiyyah bukan tarekat, hanya suatu tradisi dari kalangan Ba ’Alawi dari Hadhramaut, Yaman Selatan.
Hb. Abdullah Al-Haddad menerangkan bahwa Thariqah Ba’Alawi ialah Thariqah-nya para sayyid dari keturunan ‘Ali (Al-’Alawiyyin) dari jalur Imam Husain yang ada di Hadhramaut. Thariqah mereka berdasarkan Al-Qur’an, Al- Sunnah, riwayat-riwayat yang benar, dan ajaran para salaf yang mulia. Para salaf Ba’Alawi mempunyai keunggulan dibandingkan dengan lainnya karena mereka mendapatkan ajaran sesuai dengan urutan nasab mereka, yakni dari anak, ke ayah, kakek, dan begitu seterusnya kepada Nabi Saw.
Syaikh Al-Haddad melihat bahwa dari semua ajaran salaf Ba’Alawi, dapat disimpulkan secara umum bahwa ajaran thariqah mereka ialah menekankan adanya hubungan dengan seorang syaikh (guru pembimbing dalam ibadah), perhatian secara seksama dengan ajarannya, dan membina batin/sirr (dengan ibadah). Selain itu, thariqah ini juga menekankan pentingnya amal, dan untuk itu, dibutuhkan suatu thariqah yang ajarannya mudah dilakukan dan dipahami oleh masyarakat awam (pada umumnya).
Secara terperinci Syaikh Al-Haddad mengatakan bahwa hidup ini adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah suatu cara untuk melakukan perlawanan terhadap hawa nafsu, dan sebagai media pendidikan moral. Seorang Musafir membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi. Kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moral yang baik yang menjaganya.
Syaikh Ahmad bin Zain Al-Habsyi mengatakan bahwa thariqah mereka menekankan pada ilmu dan amal, wara’ dan khauf (takut), serta ikhlas hanya untuk-Nya. Kelima ajaran ini merupakan bagian penting dalam tahapan awal seseorang menjadikan hatinya bersih dari berbagai macam penyakit hati hingga diterima oleh Tuhannya.
Ilmu merupakan penerang jalan, amal sebagai pengoptimalan alat penerang tersebut, dan sikap al-khauf adalah sikap logis yang harus dimiliki oleh setiap musafir, apalagi dalam dunia yang merupakan medan terlaknat karena banyaknya tipuan di dalamnya. Sedangkan sikap wara’ (mawas diri terhadap segala sesuatu yang dapat menghalangi seseorang wushul ilallah) merupakan konsekuensi logis dan bagian terpenting dari sikap al-khauf agar hatinya tetap terjaga dari apa saja yang dapat menghambatnya untuk ikhlas karena Allah SWT.