New York (SI ONLINE) – Fenomena menakjubkan muncul di Amerika, negeri pelopor liberalisme dan kapitalisme itu. Sejak beberapa pekan terakhir ini, negeri paman Sam itu diguncang demo Anti Wall Street yang meletus bagai bisul pecah dan terus berlangsung hingga kini, bahkan telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Inti demo adalah menentang kapitalisme, korporatisme, anti korupsi, dan ketidak adilan ekonomi, yang telah menyebabkan pengangguran hebat, meluasnya jurang kaya-miskin, manipulasi perdagangan dan keuangan dalam skala besar, dan lainnya.
Pemrotes mengidentikkan diri sebagai kelompok 99 %, menggambarkan kelompok besar tapi marginal secara finansial. Kelompok 99 % berhadapan dengan kelompok 1 % yang merupakan elit kapitalisme tapi menguasai semua pundi-pundi korporatisme serta seluruh akses kekayaan dunia.
Di New York Ratusan pemrotes berkemah di taman kota (Zuccotti Park) selama empat minggu dan perintah polisi untuk mengosongkan dianggap sebagai tipu muslihat untuk mengusir mereka. Terjadi konfrontasi yang tegang antara pemrotes terbesar dan polisi yang berhenti ketika rencana untuk membersihkan secara paksa taman itu terpaksa ditangguhkan.
Para pemilik plaza Zuccotti Park mengatakan mereka menunda pembersihan itu dan para pemerotes dapat berada di lokasi itu sampai sekarang. Brookfield Properties, pemilik lokasi itu,” yakin merekdapat mengatur satu kesepakatan dengan para pemrotes yang akan menjamin taman itu tetap bersih, aman dan dapat digunakan publik,” kata Wakil wali kota Cas Hollowa
Para pemrotes bersuka cita dengan meneriakkan, “Rakyat yang bersatu tidak akan pernah dikalahkan! Ini adalah kemenangan besar kita,” kata Senia Barragan, juru bicara para demonstran, menjelaskan bahwa gerakan itu telah dibantu oleh banyak anggota yang datang mendukung mereka.
Satu kelompok kecil pemrotes mulai berkemah di Zuccotti Park pada 17 September, mengajarkan satu pesan anti-kapitalis akibat tingginya tingkat pengangguran di AS dan perjuangan untuk bangkit dari resesi yang buruk. Kelompok protes serupa menyebar di kota-kota besar lainnya AS, dan mantan waki presiden Al Gore Kamis menjadi tokoh paling terakhir menyatakan dukungannya pada gerakan itu.
Satu jajak pendapat di majalah Time menunjukkan 54 persen warga AS mendukung atau sangat mendukung pada pemrotes, sementara 23 persen kecewa dan sisanya 24 persen dari mereka yang disurvai tidak memberikan pendapat mereka.
Anti kapitalisme kemudian menjadi gerakan yang menyebar ke Eropa dan akhirnya ke seluruh dunia. Press TV melaporkan. Ratusan ribu pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di kota-kota Eropa untuk memprotes korporatisme, peningkatan korupsi dan langkah-langkah penghematan yang disponsori negara,
Inggris, Jerman, Italia, Spanyol, Irlandia, dan Portugal adalah beberapa negara Eropa, yang dilanda protes besar pada Sabtu (15/10). Kekerasan juga meletus di beberapa kota, termasuk Roma dan London. Para pengunjuk rasa di seluruh Italia mengekspresikan kemarahan mereka pada situasi ekonomi dan mosi percaya parlemen yang diberikan kepada Perdana Menteri Silvio Berlusconi baru-baru ini, serta serangkaian skandal politik dan moral yang mencoreng citra negara.
Sumber-sumber di Italia memperkirakan bahwa lebih dari 200.000 pengunjuk rasa tiba di Roma kemarin. Kabarnya lebih dari 70 orang, termasuk petugas polisi dan warga setempat, terluka dalam bentrokan antara aparat keamanan dan pengunjuk rasa di ibukota Italia.
Sementara itu di London, aksi damai berubah menjadi kekerasan ketika polisi bentrok dengan para demonstran di dekat Katedral Santo Paulus. Demonstran anti-korupsi sekarang telah mendirikan tenda dalam upaya untuk menduduki daerah tersebut. Jumlah penangkapan di London masih belum jelas.
Di Jerman, lebih dari 40.000 pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan, termasuk lebih dari 8.000 orang di Berlin dan 6.000 di Markas Besar Bank Sentral Eropa di Frankfurt. Mereka juga menyerukan demokrasi lebih luas dan mengakhiri keserakahan korporatisme keuangan. Munich, Cologne, Hamburg, dan kota-kota lain di Jerman, juga menyaksikan demonstrasi besar yang dipentaskan oleh ribuan demonstran.
Ketika beberapa puluh orang memutuskan untuk berkumpul pada tanggal 17 September 2011 di depan gedung Wall Street, tidak ada yang membayangkan suara kemarahan ini akan menyebar hingga keseluruh dunia. Gerakan ini akhirnya terkenal dengan sebutan “Occupy Wall Street”.
Hampir sebulan dari dimulainya gerakan ini, kini lebih dari seribu kota dari 80 negara Amerika, Eropa dan Asia menyaksikan demonstrasi menentang sistem tidak adil Kapitalisme. Disetiap aksi unjuk rasa, para demonstran memrotes kondisi yang ada dan menuntut sistem baru bagi masa depan yang lebih baik.
Gerakan yang telah mengglobal ini punya akar masalah yang sama. Bangsa-bangsa di dunia sudah tidak dapat lagi menerima sistem Kapitalisme yang menguasai dunia saat ini. Karena dalam sistem ini, para pemilik modal besar adalah pelaku utama kebijakan dan ekonomi masyarakat Kapitalisme. Sementara para politikus memainkan peran sebagai pelaksana kebijakan para pemodal. Dari gabungan para pelaku pasar dan politikus ini lahirlah sebuah kelompok kecil berjumlah satu persen, tapi sangat kaya. Mereka mengontrol seluruh alat-alat produksi dan kekayaan masyarakat. Sebaliknya, 99 persen warga hidup dalam kemiskinan, inflasi, pengangguran dan puluhan masalah sosial lainnya.
Beberapa tahun lalu, kalangan penguasa menjadi pengontrol media dan tidak menayangkan kemiskinan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, jutaan orang miskin tidak puas dengan kondisi yang ada. Namun dengan adanya media-media seperti internet dan jaringan-jaringan sosial membuat monopoli media menjadi tidak ada gunanya lagi. Masyarakat menjadi melek akan kondisi ketidakadilan, asusila, dan ketidakjujuran dari para pemodal dan politikus. Di sisi lain, partai-partai politik hanya berusaha membenarkan kondisi yang ada. Hal ini membuat masyarakat yang marah langsung melakukan aksi menyampaikan suaranya kepada penguasa setelah putus asa dari sikap partai-partai politik.
Berbeda dengan gerakan sosial yang terjadi di abad yang lalu, aksi protes yang terjadi saat ini tidak memiliki seorang pemimpin yang jelas. Mereka tidak mau berada di bawah satu payung organisasi atau kelompok. Ciri khas ini menjadi faktor cepatnya penyebaran protes ini ke seluruh dunia dan penguasa juga tidak mampu menumpas atau menyimpangkan gerakan ini.
Sekalipun demikian, terlepas dari beragamnya peserta gerakan “kemarahan” ini, mereka punya sejumlah titik persamaan seperti pihak perbankan harus bertanggung jawab atas munculnya kondisi yang ada dan pemerintah tidak lagi berusaha menyelamatkan para pemodal. Menurut mereka, pemerintah sudah seharusnya membantu mayoritas warga yang membutuhkan. Satu kesamaan lain dari para pengunjuk rasa adalah tuntutan agar perang yang menghancurkan lingkungan hidup segera dihentikan dan digantikan dengan hubungan yang lebih adil dan manusiawi.
Kapitalisme agaknya kepergok jalan buntu dan sampai pada point of no return, tidak ada jalan kembali lagi. Tinggal menunggu saatnya kapitalisme terkubur. Kini tentu sedang dicari alternative pengganti system ekonomi dunia. Mampukah Islam menjawab kekosongan system ini..?