TAHLILAN (KENDURI ARWAH – SELAMATAN KEMATIAN)
MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I
Disertai Komentar ‘Ulama Lainnya Tentang Membaca al-Qur’an Untuk Orang Mati
Download link E-book ada dibawah
MUQADDIMAH
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.Tahlilan, sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat thayyibah, tahmid, takbir, tasybih hingga shalawat, do’a dan permohonan ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini merupakan amaliyah yang tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam bahkan merupakan amaliyah yang memang dianjurkan untuk memperbanyaknya.
Istilah tahlilan sendiri diambil dari mashdar dari fi’il madzi “Hallalla – Yuhallilu – Tahlilan”, yang bermakna membaca kalimat Laa Ilaaha Ilaallah. Dari sini kemudian kegiatan merahmati mayyit ini di namakan tahlilan karena kalimat thayyibah tersebut banyak dibaca didalamnya dan juga penamaan seperti ini sebagaimana penamaan shalat sunnah tasbih, dimana bacaan tasbih dalam shalat tersebut dibaca dengan jumlah yang banyak (300 kali), sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Namun, masing-masing tempat kadang memiliki sebutan tersendiri yang esensinya sebenarnya sama, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Majelis Tahlil”, “Selamatan Kematian”, “Yasinan” (karena dimulai dengan pembacaaan Yasiin), “Kenduri Arwah”, “Tahlil”, dan lain sebagainya.
Tahlilan sudah ada sejak dahulu, di Indonesia pun atau Nusantara pun tahlilan sudah ada jauh sebelum munculnya aliran yang kontra, yang mana tahlilan di Indonesia di prakarsai oleh para ulama seperti walisongo dan para da’i penyebar Islam lainnya. Tahlilan sebagai warisan walisongo terus di laksanakan oleh masyarakat muslim hingga masa kini bersamaan dengan sikap kontra segelintir kaum muslimin yang memang muncul di era-era dibelakangan. Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan sebab kadang sering dipermasalah. Untuk mempermudah memahami masalah ini yakni amaliyah-amaliyah masyru’ yang terdapat dalam tahlilan (kenduri arwah) maka bisa di rincikan sebagai berikut :
I. DO’A UNTUK ORANG MATI
II. SHADAQAH UNTUK ORANG MATI
III. QIRA’ATUL QUR’AN UNTUK ORANG MATI
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR
HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN
IV. JAMUAN MAKAN PADA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL
PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA’FAR
PENJELASAN TERKAIT HADITS JARIR BIN ABDULLAH
Haramnya Niyahah dan Pengertian Niyahah
V. SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH JUGA MADINAH
VI. PENGHARAMAN TAHLILAN DILUAR AKAL SEHAT
Niyahah Versus Tahlilan
Bolehnya Menangisi Mayyit
Ma’tam Versus Tahlilan (Kenduri Arwah)
VII. PENTING : TIDAK SETIAP BID’AH DIHUKUMI HARAM (BID’AH BUKAN HUKUM)
LANJUT MASALAH BID’AH
Pendefinisian Bid’ah
VIII. PENTING : ALIRAN WAHABI SEBAGAI BID’AH MUHARRAMAH
IIX. BEBERAPA KOMENTAR ULAMA
al-Mughni lil-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali
Al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’, Imam Ibnu Muflah al-Maqdisi
Al-Inshaf fiy Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, Imam ‘Alauddin al-Mardawi
Al-‘Uddah syarh al-‘Umdah, Imam Abdurrahman bin Ibrahim al-Maqdisi al-Hanbali
Zadul Mustaqni’ fi Ikhtishar al-Muqna’, Imam Syarifuddin Musa al-Hajawi
Ar-Raudl al-Marbi’ syarh Zaad al-Mustaqni’, Imam al-Bahuti al-Hanbali
Al-Bahr ar-Raiq syarh Kanz ad-Daqaid, Imam Ibnu Najim al-Mishri al-Hanafi
Muraqi al-Falah syarh Matn Nur al-Idlah, Imam Hasan bin ‘Ammar al-Mishri al-Hanafi
Al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri
Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’ at-Turmidzi, Syaikh Abul ‘Alaa al-Mubarakfuri
Mirqatul Mafaatiih syarh Misykah al-Mashaabih, al-Mulla ‘Ali al-Qarii
Madzhab Zaidiyyah (Madzhab Yang Lebih Dekat Ke 4 Madzhab)
– Naylul Awthaar, Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syawkani
– Subulus Salaam, al-Amir ‘Izzuddin Ash-Shan’ani
IX. FATWA IBNU TAIMIYAH DAN IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYYAH
QS. an-Najm Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal
Hukum Keluarga al-Marhum membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama (al-Qiraa’ah lil-Mayyit)
Bertahlil 70.000 Kali Dan Menghadiahkan Kepada Mayyit
Pasal Khusus Tentang Membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah)
Penuturan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Murid Ibnu Taimiyah)
X. KOMENTAR ALIRAN WAHHABIYAH
Polemik Seputar Ahkam at-Tamanni al-Mawt
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz
Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Alu asy-Syaikh
Komisi Fatwa Kerajaan Bani Saud (al-Lajnah ad-Daimah)
XI. PENUTUP
Semoga dengan semua ini bisa memberikan informasi berimbang mengenai komentar para ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah demikian juga komentar dari yang tidak menyetujui. Wallahu A’lam []
Al-Faqir ats-Tsauriy (Bangkalan) || http://ashhabur-royi.blogspot.com
Download Ebook versi PDF:
TahlilanMadzhabSyafii_PDF.zip (727,2 KiB, 5.548 hits)
Download Ebook versi CHM :
TahlilanMadzhabSyafii_CHM.rar (240,2 KiB, 811 hits)
Terima kasih atas penjelasan sekitar hukum: tahlilan dan selamatan.
Tentu tak salah lagi, amalan ini diperuntukkan untuk arwah yang tlah meninggal.
perang badar,uhud dan lail2 banyaksahabat nabi yang gugur .nabi mengambil mengubur setelah itu nabi tidak membikin tahlil hari ke 1. ke 2 dan seterusnya dan tidak ada 1 hadis 2 shahi yang menjelaskan APAKAH NABI LUPAH?
Untuk meluruskan pembahasan nya:
1. Apakah Anda mengikuti Imam SYafi’i?
Jika tidak, maka cukup sampai disini dan tdk perlu diperdebatkan lagi, karena penjelasan diatas merujuk pada Imam Syafi’i. Dan kami tidak memaksakan Anda untuk mengikuti Imam Syafi’i.
2. Apakah Anda memiliki Dalil pelarangan Tahlil?
Jika iya, kami sangat berterimakasih atas masukan nya.
Logika kecilnya begini:
Jika Anda memakai kendaraan motor, maka jelas Anda berdosa, karena Nabi tdk memakai motor.
Padahal tdk ada pelarangan (dalil/hadis) untuk menggunakan motor.
Sama dengan Tahlilan juga tidak ada pelarangan nya, bahkan ulama menyarankan.
Mantap…Elegan…Tapi saya memilih meninggalkan tahlilan memperbanyak tahlil…meninggalkan yasinan memperbanyak baca Qur’an…meninggalkan sholawatan memperbanyak sholawat….kenapa eh kenapa????Karena:
1. Kalau tahlilan itu betul merupakan bid’ah yg diancam neraka oleh Rasulullah, alhamdulillah saya selamat dan tidak perlu capek2 dan berboros2 keluar biaya utk berbuat bid’ah
2. Kalau seandainya tahlilan itu disunnahkan, saya mohon kepada Allah spy dengan memperbanyak tahlil bisa menyusul pahala dari tahlilan…dan saya juga tdk akan bersedih, karena Rasullullah para sahabat, para tabiin dan tabiut tabiin juga tdk akan mendapatkan pahala tahlilan krn mereka yang mulia itu tidak melakukan tahlilan
tahlil itu perbuatan islam syia yang membenci sunnah kemudian menyebar keasia dan indonesia .
Salam, semoga Allah meahmati kita semua.. amiin.
Jangan pernah nerima berita dengan tanpa berfikir jernih terlebih dahulu, kedepankan prinsip Rahmatan Lil Aalamiin dan ukhuwah Islam.
Anda dengan mudah mengucapkan dengan sikap profokasi tanpa bukti yang jelas. Dari tulisan Anda kami sebagai Sunnah merasa malu, karena dari gaya bicara Anda ini, dapat dikatakan bahwa Sunni lah yg membenci Syiah, mohon lebih hati-hati dan kedepankan Ukhuwah Islam, Nabi diutus untuk Rahmatan Lil Alaamiin, dan jangan kejebak dengan fitnahan murahan, musuh kita bukan perbedaan madzhab, akan tetapi musuh kita sama yaitu FITNAH Dajjal.
Semoga kita semua mendapatkan hidayah dan jalan yg lurus, amiin.
ah, aq mau sholat maghrib 5 rakaat biar trlihat JOSS
Terima kasi penjelasannya..
Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Musnad Imam Syafi’i No. 602; Al-Umm 1/397 ; lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]
kenyataannya sekarang adalah kebanyakan yg bikin makanan itu bukan tetangga atau kerabat tetapi keluarga almarhum
mereka sudah berduka ditambah harus mengeluarkan uang/materi lebih untuk memberi makan para pelayat/tetangga/kerabat
kasihan ya.
orang berduka harusnya dibantu, tidak hanya do’a tp juga seperti yg disebutkan seperti komen diatas ini….
Admin tidak pernah membaca kitamb Imam Syafi’i Al-Umm ?? ya …!!!. ngaku mazhab syafi’i …… dasar ISHINJA (Islam Hindu Jawa)
Sangat jelas bahwa pada kitab Al’um menyarankan adanya acara Tahlilan dan makan2 (alangkah baiknya jika diberikan oleh masyarakat sekitar jika memberatkan keluarga).
Silahkan dibaca saja itu teks tulisan nya Masnun Tholab, di Al’Um sendiri menyatakan demikian.
Yang dipertanyakan skrng adakah pelarangan TAHLILAN di kitab Al’Um?? atau mungkin ada kitab2 lain? Tolong tunjukkan kepada kami.
Terimakasih
empat mahzab terkenal 1 imam hanafi 2 imam malik 3 imam syafi’i 4 imam hambali. merujuk kata mahzab yg arti pendapat. jadi silahkan bermahzab dng salah satunya. dan boleh tidak bermahzab. yang penting alquran dan hadits. 2 perkara yg dijamin tdk akan sesat. untuk itu mari kita sesama muslim saling menghargai dan menghormati. bagiku amalku bagimu amalmu. allah swt akan memberi balasan yg sempurna sesuai dng amalnya.
Tidak bermadzhab berarti sama dengan menciptakan madzhab baru.
Jika Anda merasa dapat menterjemah, mentafsir alqur’an dan menguraikan makna, maksud dan tujuan hadist nabi, maka silahkan saja untuk tidak bermadzhab (atau madzhab baru Anda, tdk perlu pakai nama madzhab-pun sah2 saja).
Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لا قرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لاهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير
قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال ” كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ ”
Dan disepakati oleh Nash-nash Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dan Al-Muhtashar dan para pengikutnya bahwasanya disunnahkan bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam. Imam Syafi’i berkata dalam Al-Muhtashar : Dan saya menyukai bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam karena itu sunnah dan merupakan perbuatan ahli kebaikan.
“Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
Mas mas, tahlilan kok di samakan dengan ratapan hwmmm… Belajar dulu yak…
“Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
Pendapat PARA ULAMA tentang berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat :
1. Imam Nawawi : BID’AH DAN TIDAK DIANJURKAN
2. Al-Bakri Dimyati : MAKRUH (DIBENCI)
3. Imam Zaenudin : MAKRUH (DIBENCI)
4. Syeikh Zakaria Al-Anshary : BID’AH YANG TERCELA
5. Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak : MENYELISIHI SUNNAH
6. Ibnul Qayyim Al-Jauziah : BID’AH YANG DIBENCI
7. Sayyid Sabiq : BID’AH YANG MUNFKAR
Pertanyaan buat Admin dan pembaca forum ini :
A. Siapakah ulama yang berpendapat bahwa berkumpul dan makan-akan di rumah keluarga mayat itu adalah SUNNAH?
B. Siapakah ulama yang berpendapat bahwa berkumpul dan makan-akan di rumah keluarga mayat itu adalah BID’AH HASANAH?
Silahkan dijawab dengan menyertakan dalil-dalinya.
Adakah kitab yg menyatakan seperti yg Anda asumsikan tersebut? mohon disertakan sumber yang jelas.
Terimakasih
dulu sebelum mengetahui masukan dari imam yang lain, saya mengikuti yang namanya tahlilan,….. setelah ditimbang takut dengan hadist “””” dalam ibadah jangan menambah atau mengurangi yang tidak dicontohkan rosulullah,… apalagi budaya atau sisipan dari agama lain… , mengenai motor beda karena itu bukan ibadah tapi sarana seperti unta atau kuda. kalau literatur kita tidak kuat, dan tidak dicontohkan oleh nabi lebih baik tidak diikuti, karena nanti sidang di akherat siapa yang mau bertanggng jawab, kalo mencontohkan nabi…. insayaalah nabi yang akan bertanggung jawab. kalau mengikuti aturan yang lain apakah mau bertanggung jawab kekita kalo ternyata keliru “” kalau dibalikin mengapa kita mengikuti saya padahal kaian diberi akal untuk dapat menimbang mana yang pantas dan yang tidak””” kalo udah seperti itu bisa kacau dan semua terlambat……. saya tidak menyudutkan tetapi masyarakat kita rata-rata tidak mengaji mau instannya saja.. hanya bisa baca al-quran dan tidak berusaha ingin mengetahui kandungan dan isinya.
wassalamualaiqum wr.wb
buat teman-teman pemuda yang seiman,….. coba belajar tidak hanya dari 1 sumber aja, contoh masuk ke golongan a, b, c, d, semua sama, sahadatnya sama rukun iman dan islam sama, yang membedakan adalah….. ada yang mengambil hadist walaupun itu lemah “yang penting ada hadistnya”, ada pula yang mengambil hadis yang kuat saja…. insyaallah kalau kita mau terbuka untuk belajar pada golongan yang berbeda kita diberi hidayah,…… kalau kita belajarnya hanya pada satu golongan pasti kita akan menyatakan baha kita yang peling benar,…. kalau ternyata kita yang keliru,…. diakirat kita tidak akan bisa berbuat banyak,
soba saya belajar jangan satu submer niscaya kita diberi pencerahan “” taya tidak menyudutkan tapi mengingatkan bahwa manusia diberi akal, mancaatkan akalkita baik untuk mencari ilmu dunia dan ilmu akhirat”” semoga komentar saya dapat membantu
ws.wr.wb
coba deh murodi? bisa gak? hehehe ini khilafiyah mas? di bahas sampek kiamat juga gak nyambung
بلوغ الأمنية (إنارة الدجى) ص: 219
(تذييل) إعلم أن الجاويين غالبا إذا مات أحدهم جاءوا إلى أهله بنحو الأرز نيئا ثم طبخوه بعد التمليك وقدموه لأهله وللحاضرين عملا لخبر (إصنعوا لآل جعفر طعاما) وطمعا في ثواب ما في السؤال بل ورجاء ثواب الإطعام للميت على أن العلامة الشرقاوي قال في شرح تجريد البخاري ما نصه: والصحيح أن السؤال أي سؤال القبر مرة واحدة وقيل يفتن المؤمن سبعا والكافر أربعين صباحا ومن ثم كانوا يستحبون أن يطعم عن المؤمن سبعة أيام من دفنه إهـ بحروفه.
بلوغ الأمنية (إنارة الدجى) ص : 215-216
الأمر الثاني : أن اتخاذهم الطعام المذكور إما بدعة محرمة لا تنفذ به الوصية إن كان لنحو نائحة أو رثاء وعلىذلك حملوا ما رواه أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير ابن عبد الله رضي الله عنه قال : كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة وإما بدعة مكروهة تنفذ بها الوصية عند المالكية وكذا عند الشافعية على الصحيح إن اتخذ لا لنحو ذلك بل لإطعام المعزين لتصريحهم بكراهة اجتماع أهل الميت للعزاء وإما بدعة مندوبة مثاب عليها حيث قصد بذلك إطعام المعزين لدفع ألسنة الجهال وخوضهم في عرضهم بسبب الترك أخذا من أمره صلى الله عليه وسلم : من أحدث في الصلاة بوضع يده على أنفه وعللوه بصون عرضه عن خوض الناس فيه لو انصرف على غير هذه الكيفية إهـ.
نهاية الزين ص: 281
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل والتقييد ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاد شيخنا يوسف السنبلاوي أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في كشف اللثام إهـ
الفتاوي الكبرى الجزء الثاني ص: 7 دار الفكر
(وسئل) أعاد الله علينا من بركاته عما يذبح من النعم ويحمل مع ملح خلف الميت إلى المقبرة ويتصدق به على الحفارين فقط وعما يعمل يوم ثالث موته من تهيئة أكل وإطعامه للفقراء وغيرهم وعما يعمل يوم السابع كذلك وعما يعمل يوم تمام الشهر من الكعك ويدار به على بيوت النساء اللاتي حضرن الجنازة ولم يقصدوا بذلك إلا مقتضى عادة أهل البلد حتى إن من لم يفعل ذلك صار ممقوتا عندهم خسيسا لا يعبئون به وهل إذا قصدوا بذلك العادة والتصدق في غير الأخيرة أو مجرد العادة ماذا يكون الحكم جواز وغيره وهل يوزع ما صرف على أنصباء الورثة عند قسمة التركة وإن لم يرض به بعضهم وعن المبيت عند أهل الميت إلى مضي شهر من موته لأن ذلك عندهم كالفرض ما حكمه (فأجاب) بقوله جميع ما يفعل مما ذكر في السؤال من البدع المذمومة لكن لا حرمة فيه إلا إن فعل شيء منه لنحو نائحة أو رثاء ومن قصد بفعل شيء منه دفع ألسنة الجهال وخوضهم في عرضه بسبب الترك يرجى أن يكتب له ثواب ذلك أخذا من أمره صلى الله عليه وسلم من أحدث في الصلاة بوضع يده على أنفه وعللوه بصون عرضه عن خوض الناس فيه لو انصرف على غير هذه الكيفية ولا يجوز أن يفعل شيء من ذلك من التركة حيث كان فيها محجور عليه مطلقا أو كانوا كلهم رشداء لكن لم يرض بعضهم بل من فعله من ماله لم يرجع به على غيره ومن فعله من التركة غرم حصة غيره الذي لم يأذن فيه إذنا صحيحا وإذا كان في المبيت عند أهل الميت تسلية لهم أو جبر لخواطرهم لم يكن به بأس لأنه من الصلات المحمودة التي رغب الشارع فيها والكلام في مبيت لا يتسبب عنه مكروه ولا محرم وإلا أعطي حكم ما ترتب عليه إذ للوسائل حكم المقاصد والله سبحانه وتعالى أعلم بالصواب.
tapi kalo anda percaya kitab syafiiyyah lhooooo gak maksa deh hahahahahaha
Mohon direnungkan pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab di bawah ini :
…واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لا قرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لاهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير
قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال ” كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ
Dan disepakati oleh Nash-nash Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dan Al-Muhtashar dan para pengikutnya bahwasanya disunnahkan bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam. Imam Syafi’i berkata dalam Al-Muhtashar : Dan saya menyukai bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam karena itu sunnah dan merupakan perbuatan ahli kebaikan.
“Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 5/320)
Sementara dalam kitab Raudhatuth Thalibin beliau berkata :
قلت قال صاحب الشامل وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شىء قال وهو بدعة غير مستحبة وهو كما قال
ولو اجتمع نساء ينحن لم يجز أن يتخذ لهن طعاما فإنه إعانة على معصية
Saya katakan, “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
Jika para perempuan berkumpul untuk membuat makanan, maka mereka dilarang untuk mengambil makanan tersebut karena itu membantu untuk berbuat maksiat.
[Raudhatuth Thalibin 1/139)
Pendapat di atas bukan semata-mata pendapat, tapi disertai dalil yang disepakati keshahihannya.
Mohon direnungkan pendapat Al-Bakri Dimyati Asy-Syafi’i Dalam Kitab I’anatut Thalibin :
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت – ولو أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل. ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk duduk-duduk berta’ziyah, dan membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kesitu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”. Dan disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit – walau tetangga jauh – dan kenalan mereka, meskipun bukan tetangga, dan kerabatnya yang jauh, meskipun tidak di negeri si mayit, membuatkan makanan untuk keluarganya yang bisa mencukupi mereka sehari semalam. Dan haram membari makan kepada wanita yang meratap, karena hal tersebut membantu perbuatan maksiat. [I’anatut Thalibin 2/145]
Pendapat di atas bukan semata-mata pendapat, tapi disertai dalil yang disepakati keshahihannya.
Mohon direnungkan pendapat Imam Zaenudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani Asy-Syafi’i dalam kitab Irsyadul ‘Ibad menjelaskan :
ويكره لهم الجلوس لها وصنع طعام يجمعون الناس عليه لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي قال: كنا نعدّ الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة. ويستحب لجيران أهل الميت ولو أجانب ومعارفهم، وإن لم يكونوا جيراناً وأقاربه الأباعد، وإن كانوا بغير بلد الميت أن يصنعوا لأهله طعاماً يكفيهم يوماً وليلة. وأن يلحوا عليهم في الأكل، ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية
Dan dimakruhkan untuk duduk-dudk dan membuat makanan dengan mengumpulkan orang-orang untuk mendatanginya, karena Ahmad meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,”
Dan disunnahkan bagi para tetangga keluarga mayit, meskipun bukan dari pihak keluarganya dan para kenalan, meskipun bukan tatangga dan kerabat jauh, meskipun mereka berada di negeri lain, memberi makanan kepada keluarga mayit yang mencukupi untuk sehari semalam, dan mendorong mereka supaya makan. Dan haram membuatkan makanan untuk perempuan yang meratap karena hal itu membantu melakukan perbuatan maksiat. [Irsyadul ’Ibad ila Sabilir Rashad 1/98]
Pendapat di atas juga bukan semata-mata pendapat, tapi disertai dalil yang disepakati keshahihannya.
Mohon direnungkan pendapat Syeikh Zakaria Al-Anshary Asy-Syafi’i dalam kitab Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah :
وَأَمَّا تَهْيِئَةُ أَهْلِهِ طَعَامًا لِلنَّاسِ فَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ ذَكَرَهُ فِي الرَّوْضَةِ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ وَيُسْتَدَلُّ لَهُ بِقَوْلِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Adapun yang dilaksanakan keluarga mayit menyiapkan makanan bagi orang-orang adalah bid’ah yang tercela, sebagaimana disebutkan dalam Arruoudhoh. Dikatakan dalam Al-Majmu’ yang menjadi dasar adalah ucapan Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad sahih, dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak terdapat kata ‘ba’da dafnihi’
[Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah 6/164 ]
Pendapat di atas juga bukan semata-mata pendapat, tapi disertai dalil yang disepakati keshahihannya.
Mohon direnungkan pendapat Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak Asy-Syafi’i dalam kitab Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Authar mengutip perkataan Imam Asy-Syaukani :
قَوْلُهُ : ( كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ ) إلَى آخِرِهِ . يَعْنِي أَنَّهُمْ كَانُوا يَعُدُّونَ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَ دَفْنِهِ ، وَأَكْلَ الطَّعَامِ عَنْدَهُمْ نَوْعًا مِنْ النِّيَاحَةِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ التَّثْقِيلِ عَلَيْهِمْ وَشَغْلِهِمْ مَعَ مَا هُمْ فِيهِ مِنْ شُغْلَةِ الْخَاطِرِ بِمَوْتِ الْمَيِّتِ وَمَا فِيهِ مِنْ مُخَالِفَةِ السُّنَّةِ ؛ لِأَنَّهُمْ مَأْمُورُونَ بِأَنْ يَصْنَعُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا فَخَالَفُوا ذَلِكَ وَكَلَّفُوهُمْ صَنْعَةَ الطَّعَامِ لِغَيْرِهِمْ .
Ucapan Jarir (kita (semua sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanam mayit itu, masuk bilangan “meratap”) maksudnya bahwa mereka menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayat setelah dikuburkannya dan menyantap makanan di tempat mereka adalah termasuk meratapi mayat, karena hal itu membebani dan menyibukkan keluarga si mayat, padahal mereka telah dirundung musibah kematian, disamping itu, hal ini menyelisihi sunnah, karena yang diperintahkan kepada mereka adalah membuatkan makanan untuk keluarga si mayat, sehingga bila mereka melakukan itu, berarti menyelisihi perintah tersebut dan membebani keluarga tersebut untuk membuatkan makanan bagi orang lain.
[Bustanul Ahyar Muhtashar Nailul Author 2/232]
Pendapat di atas juga bukan semata-mata pendapat, tapi disertai dalil yang disepakati keshahihannya.
1. Bukan dari Imam Syafi’i
2. Yang dipermasalahkan disini adalah biaya makan2/acara yang dapat memberatkan keluarga simayit, bukan masalah TAHLIL-nya.
Mohon jangan di ambil hati pendapat berikut :
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah berkata :
وما يفعله بعض الناس اليوم من الإجتماع للتعزية, وإقامه السرادقات, وفرش البسط, وصرف الأموال الطائلة من أجل المباهاة والمفاخرة من الأمور المحدثة والبدع المنكرة التى يجب على المسلمين اجتنابها, ويحرم عليهم فعلها, لاسيما وأنه يقع فيها كثير مما يخالف هدى الكتاب ويناقض تعاليم السنة, ويسير وفق عادات الجاهلية, كالتغنى باقران وعدم التزام اداب التلاوة, وترك الإنصات والتساغل عنه بشرب الدخان وغيره. ولم يقف الأمر عند هذا الحد, بل تجاوزه عند كثير من دون الأهواء فلم يكتفوا بالأيام الأول, بل جعلوا يوم الأربعين يوم تجدد لهذه المنكرات وإعادة لهذه البدع. و جعلوا ذكرى أولى بمناسبه مرور عام على الوفاة وذكرى ثانية, وهكذا مما لا يتفق مع عقل ولا نقل
Oleh karena itu, apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang di masa kini, yaitu bertakziyah sambil duduk berkumpul, mendirikan tenda, membentangkan amparan, serta menghamburkan uang yang tidak sedikit, termasuk bid’ah yang dibuat-buat, dan bid’ah yang mungkar yang wajib dihindarkan oleh kaum muslimin dan terlarang mengerjakannya. Apalagi banyak pula terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan menyalahi sunnah. Justru sebaliknya, ia sejalan dengan adat istiadat jahiliyah, misalnya menyanyikan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengindahkan norma dan tata tertib qira’at, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya asyik bersenda gurau dan merokok. Dan tidak hanya sampai di sini, tetapi orang-orang hartawan melangkah lebih jauh lagi. Mereka tidak puas dengan hari-hari pertama, tetapi mereka peringati pada hari keempat puluh untuk membangkitkan kemungkaran-kemungkaran dan mengulangi bid’ah ini. Tidak saja mereka peringati genap satu tahun masa wafatnya, tetapi juga genap dua tahun dan seterusnya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pikiran sehat dan tuntunan Al-Quran dan sunnah Nabi. [Fiqih Sunnah 2, hal. 203-204].
1. Bukan dari Imam Syafi’i
2. Yang dipermasalahkan disini adalah biaya makan2/acara, penghamburan uang, dll… yang dapat memberatkan keluarga simayit, bukan masalah TAHLIL-nya.
@masnun…
Untuuk terakir kalee.,
to kangmas masnun yg caem: “melihat trek rekod temen2 anda di milis-milis tetangga, pasti anda tidak akan pernah mau menerima penjelasan apapun dari saya, dan kalau saya nguenggkeell pasti anda mengatakan saya belum mendapat pertolongan dari alloh al musta’an, oleh karena itu duhai mas masnun yg q-cinta, aku cuma bisa mendo’akan kepadamu, kerabatmu, handai taulanmu, dan semuanye, mudah2-an kita senantiasa Dadi wong mbeneh, ra nglarani liyan, jok dumeh, jok adigung adiguno, isoho dadi manungso sing sugih tanpo bondo, menang tanpo ngasorake” wa akhiru dakwahum mas masnun komentaaar apapun yg akan kau lontarkan akan aku terima dengan mata sayu, bibir menengadah dan tak akan aku bantah walau sedikit huahahahahaha wassalam kelon wae menak! Tiwas mumet ngurusi ngeneki
Evath berkata :
-Mas mas, tahlilan kok di samakan dengan ratapan hwmmm… Belajar dulu yak…
-coba deh murodi? bisa gak? hehehe ini khilafiyah mas? di bahas sampek kiamat juga gak nyambung.
-tapi kalo anda percaya kitab syafiiyyah lhooooo gak maksa deh hahahahahaha
MUDAH-MUDAHAN UCAPAN DI ATAS BUKAN MERUPAKAN UNGKAPAN KESOMBONGAN DAN SIKAP MERENDAHKAN ORANG LAIN.
haha mantap kau masnun, I agree with you. selamatan kematian itu bid’ah munkaroh. ga perlu gue cantumin dalilnya coz gue malu sama mas evath. hehe. yang pasti dikit banyak gue udah mengkaji kegiatan bid’ah itu. mas evath gue saranin lekas tinggalkan ISHINJA (ISLAM HINDU JAWA)
@masnun, bukan sombong mas, enak aja, emang elu yg suka katakan bid’ah pd orang gak sombong? Lihat ulang beda ma’tam ma tahlil, yg real sono dalam lapangan. Jangan sepenggal-sepenggal.
@masnun, tanggapi yg ilmiah donk, jangan2 tulisan nt cuma copi paste xexexe
@masnun, oia satu lagi mas, selama anda selalu mengeluarkan dalil tentang ma’tam dan tidak menengok khilafiyah istilah dalam bulughul umniyah tersebut maka yg terjadi adalah debatable, jangan dikira saya tidak tahu bahwa ma’tam makruh, lihat fiqh islami disono sepakat 4 madzhab memakruhkan,
tapi saya minta tolong anda yg fair. Makruh itu menurut versi 4 madzhab gimana? Tanzih? Tahrim? Dan tahrijnya gimana? Jangan sepenggal-sepenggal. Gak enak di denger… Jangan ajari kami ushul fiqh kalau kitab, dasar dan pemikiran tidak sama…
Oia salam sayaaaaang buatmu mwa mwa mwa huahahahahaha…
Salam.., menanggapi saudara masnun:
pernyataan yg anda sebutkan beserta dalil2 bahwa : makan-makan di rumah ahli mayit dengan makanan yang sebenarnya berasal dari para tetangga dan handaitaulan, itu kami setujui dan dibenarkan oleh ajaran Islam.
Namun, hadis yang saudara sampaikan tersebut:
كنا نعدّ الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,”
Anda perlu lihat konteks lahirnya hadis tersebut, Hal itu bisa terjadi, bila harta atau uang yang dipergunakan untuk membuat makanan-makanan itu berasal dari harta atau uang yang dipaksa-paksakan, baik yang diperoleh dari usaha berhutang-hutang atau bahkan sampai berani menggunakan harta hak milik anak yatim, maka jelas hal ini dilarang oleh agama.
Saudara2ku seiman: saya lanjutkan permasalahan ini:
Namun, jika makanan-makanan yang dibuat dan disuguhkan oleh ahlinya si mayit itu adalah berasal dari harta atau uang hak milik pribadi salah seorang keluarganya (anak atau saudara si mayit) yang ikhlas dikeluarkan untuk bershadaqoh maka ini dibenarkan oleh agama. Karena hal ini jelas merupakan usaha yang termasuk amal baik anak kepada orang tua atau amal baik yang dikeluarkan oleh salah seorang saudara untuk saudaranya.
Apalagi kalau makanan-makanan yang dibuat itu bertujuan untuk menghormati kepada para tamu, baik yang diundang maupun yang tidak, maka ini oleh agama dibenarkan.
Rasulullah saw bersabda :
(من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فاليكرم ضيفه (رواه البخاريي ومسلم
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus memuliakan tamunya (H.R. Bukhari dan Muslim)”
Sebagaimana pula yang dikerjakan oleh para ahli mayit, dalam membuat makanan yang disuguhkan kepada para tamu secara bersama-sama atau berkumpul.
@Haidar
Trimakasih atas tanggapan anda.
Perlu anada ketahui, bahwa yang saya kutipkan di atas itu adalah pendapat para ulama berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah Bajali (atau hadits Jarir bin Abdullah Bajali menurut pemahaman para ulama). Bukan pendapat saya pribadi.
Saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskan kandungan hadits tersebut.
Dan mohon maap, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada anda, pernyataan atau alasan yang anda tulis itu tidak saya temukan dalam kitab-kitab para ulama yang saya kutipkan pendapatnya di atas.
Disamping itu yang sedang kita diskusikan ini bukan masalah menghormati tamu.
Barangkalai pendapat anda didasari oleh pendapat ulama yang dikutip saudara Evath di atas (saya kutip seperlunya) :
نهاية الزين ص: 281
أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في كشف اللثام إهـ
Terjemahan bebasnya kuang lebih : “Adapaun makanan yang dimakan oleh orang-orang yang berkumpul pada malam dimakamkannya mayat yang disebut Wahsyah, maka hal itu adalah MAKRUH selama bukan berasal dari harta anak yatim. Jika berasal dari harta anak yatim, maka hal itu HARAM. Demikianlah yang terdapat dalam Kasyfi Lisan”
Silahkan anda renungkan pendapat di atas dengan pikiran jernih dan hati yang bersih.
Admin menulis :
“Yang dipermasalahkan disini adalah biaya makan2/acara, penghamburan uang, dll… yang dapat memberatkan keluarga simayit, bukan masalah TAHLIL-nya.”
Benar, yang dipermasalhkan para ulama di atas adalah kegioatan berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat, dan kenyataannya memang kegiatan makan-makan itu tidak bisa dipisahkan dari kegiatan Tahlilan.
Bagaimana dengan Tahlilannya? Bukankah itu kegiatan yang baik?
Mari kita renungkan pendapat para ulama di bawah ini :
Imam Zaenudin dalam kitab Irsyadul ’Ibad berkata :
واعلم أن ما يفعله الناس يوم عاشوراء من الاغتسال ولبس الثياب الجدد والاكتحال، والتطيب والاختضاب بالحناء، وطبخ الأطعمة بالحبوب وصلاة ركعات بدعة مذمومة، فالسنة ترك ذلك كله، لأنه لم يفعله رسول الله وأصحابه، ولا أحد من الأئمة الأربعة وغيرهم
Ketahuilah bahwa apa-apa yang dilakukan orang-orang pada hari Asyura yaitu mandi, memakai pakaian baru, memakai celak, minyak wangi, pacar dan memasak makanan dan shalat beberapa reka’at adalah BID’AH MADZMUMAH (tercela), yang sunnah adalah meninggalkan semuanya, karena para sahabat tidak melakukannya, tidak pula salah seorang dari imam yang empat dan para ulama lainnya.
Mungkin anda akan bertanya :
Bukankah mandi, memakai pakaian baru, memakai celak, minyak wangi, pacar dan memasak makanan dan shalat beberapa reka’at adalah amalan yang baik?
Apa salahnya?
Allahumma Shalli ‘Alaa Muhammad wa Aali Muhammad wa sohbihi mayamiin.
Saya sangat setuju untuk masalah asyura, apalagi ini dikenal sebagai hari anak yatim. Di hari asyura di SUNNAH kan untuk memberi sodakoh kepada anak-anak yatim.
Untuk Tahlilan, jika tdk ada makan2 dan kumpul2nya, org susah kumpul. Jadi sulit untuk mengadakan acara silaruhami tanpa adanya kegiatan2 spt itu.
Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab berkata :
(العاشرة) الصلاةُ المعروفةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرةَ ركعةً تصلي بين المغربِ والعشاءِ ليلةِ أولِ جمعةٍ في رجبَ وصلاةُ ليلةِ نِصْفِ شعبانَ مائةَ ركعةٍ وهاتانِ الصلاتانِ بدعتانِ ومنكرانِ قَبِيْحَتَانِ ولا يَغْتَرُّ بذكرهما في كتاب قوتِ القلوبِ واحياء علوم الدين ولا بالحديث المَذْكُوْرِ فيهما فان كلَّ ذلك باطلٌ
Shalat yang terkenal dengan shalat Raghaib, yaitu dua belas rekaat yang ditunaikan anatara maghrib dan Isya malam jum’at pertama bulan Rajab, dan shalat malam Nisyfu Sya’ban seratus rekaat. Dua shalat ini adalah dua bid’ah dan dua kemungkaran yang jelek. Jangan terpedaya dengan disebutkannya dua shalat tersebut dalam kitab Kutul Qulub dan Ihya Ulumiddin, tidak pula dengan hadits yang disebutkan tentang keduanya, karena semuanya itu bathil.
Mungkin anda akan bertanya :
Bukankah Shalat malam adalah amalan yang utama?
Apa salahnya?
@Evant menulis :
“bukan sombong mas, enak aja, emang elu yg suka katakan bid’ah pd orang gak sombong?”
“Lihat ulang beda ma’tam ma tahlil, yg real sono dalam lapangan. Jangan sepenggal-sepenggal”
-Yang mengatakan bid’ah itu para ulama, bukan saya. Coba anda simak lagi kutipan saya di atas.
-Di lapangan, tahlilan tidak bisa dipisahkan dengan jamuan makan. Nggak ada kegiatan Tahlilan tanpa makan-makan.
-Saya mengutip pendapat para ulama seperlunya mas, bukan berarti sepenggal-sepenggal.
-Kitab yang anda kutip di atas (sepenggal-sepenggal) juga tentang makan-makan, bukan tentang tahlilan, anda sama sekali tidak mengutip pendapat, lebih-lebih dalil tentang Tahlilan.
@Evant menulis :
“tanggapi yg ilmiah donk, jangan2 tulisan nt cuma copi paste xexexe”
-Yang ilmiah itu yang seperti apa? Apa harus ada “ha..ha…ha..ha..”
-Atau harus ada “xexexexe”?
@Evant menulis :
“jangan dikira saya tidak tahu bahwa ma’tam makruh, lihat fiqh islami disono sepakat 4 madzhab memakruhkan”
-Syukurlah kalau anda sudah mengakui bahwa itu makruh.
-Tentang pengertian makruh itu apa? Silahkan maknanya diputar-putar sendiri.
Perhatikan sekali lagi pendapat Syeikh Zakaria Al-Anshary Asy-Syafi’i dalam kitab Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah :
وَأَمَّا تَهْيِئَةُ أَهْلِهِ طَعَامًا لِلنَّاسِ فَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ ذَكَرَهُ فِي الرَّوْضَةِ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ وَيُسْتَدَلُّ لَهُ بِقَوْلِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Adapun yang dilaksanakan keluarga mayit menyiapkan makanan bagi orang-orang adalah BID’AH YANG TERCELA, sebagaimana disebutkan dalam Arruoudhoh. Dikatakan dalam Al-Majmu’ yang menjadi dasar adalah ucapan Jarir bin Abdullah bin Bajali,
“Kami menganggap berkumpul ke tempat keluarga orang yang mati dan membuat makanan setelah penguburannya, termasuk ratapan,” Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad sahih, dan dalam riwayat Ibnu Majah tidak terdapat kata ‘ba’da dafnihi’
[Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah 6/164 ]
Mungkin anda akan bertanya :
1. Bukankah bersedekah kepada tetangga adalah amalan yang baik?
2. Bukankah menghormati tamu adalah amalan yang baik?
Apa salahnya?
Bingung bingung bingung, si evant ngeyel tahlil khilaf pake dalil makan2 (kata masnun) . Dan si masnun ngotot melarang tahlil juga pake dalil makan2, yg bner mana nih? Bingung ngung ngung
Bingung berkata :
“Dan si masnun ngotot melarang tahlil juga pake dalil makan2”
Saya hanya mengutipkan pendapat para ulama, BUKAN PENDAPAT SAYA PRIBADI.
Silahkan simak lagi kutipan-kutipan saya di atas. Trimakasih.
test test
شرح سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 116)
وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه و سلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة في الباب الاتي كنا نرى الاجتماع وصنعة الطعام من أهل الميت من النياحة أي نعد وزره كوزر النوح إنجاح
“Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah”.
namun dalam kitab abu dawud kata2 imroah diarahkan ke perempuan ahli mayit oleh kitab syarah lainnya,
حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
“Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang perempuan, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan”
penjelasan hadist diatas di perjelas dalam syarah tuhfatul ahwadzy
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
berarti korelasinya terjadi perbedaan,,,,, wallohu a’lam
akankah kita terbelenggu dengan perbedaan? jadikan islam itu keberagaman yang menarik.
Lafadz sebelum pendapat Syeikh Zakaria Al-Anshary Asy-Syafi’i dalam kitab Al-ghororil Bahiyah Syarhul Bahjatul Wardiyyah :
(وَانْدُبْ لِغَيْرِ أَهْلِهِ) الْقُرَبَاءِ مِنْ جِيرَانِهِمْ وَمَعَارِفِهِمْ وَأَقَارِبِهِ الْبُعَدَاءِ (أَنْ يُصْلِحُوا لَهُمْ) أَيْ : لِأَهْلِهِ (طَعَامًا مُشْبِعًا) لَهُمْ يَوْمَهُمْ وَلَيْلَتَهُمْ وَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ بِغَيْرِ بَلَدِهِمْ لِخَبَرِ { اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ } رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ ; وَلِأَنَّهُ بِرٌّ وَمَعْرُوفٌ.
(Dan sunnahkanlah pada selain ahli mayit) yakni orang yang dekat dari tetangga ahli mayit, kenalan ahli mayit dan kerabatnya yang jauh untuk (untuk berbuat kebaikan kepada ahli mayit dengan membuatkan makanan yang mengenyangkan),,,,,
Jadi kesimpulannya:
– kalau orang lain membuatkan makanan maka sunnah,
– kalau ahli mayit membuatkan makanan maka makruh dan bid’ah tercela.
Pertanyaannya? Apakah dapat dipastikan makanan tersebut pasti dari ahli mayit? Sekedar info ternyata dalam beberapa kasus terjadi perbedaan. Di daerah saya (nganjuk jawa timur) setiap ada orang yang meninggal pasti tetangga berduyun-duyun membawa sembako, bahkan aqua pun yang membelikan adalah tetangga, maklum ndeso, jadi masih saling mengenal. Kalau di daerah lain wallohu a’lam. Dengan melihat fenomena ini akankah kita mengatakan hidangan pasca kematian pasti makruh? Alangkah lebih indahnya kita akomodir kasus di daerah saya. Salam dari santri ndeso.
tapi sekali lagi kita jangan menafikan pendapat diatas yang diambil dari risalah yg ada dibelakang kitab inarotudduja karangan Imam Nawawi Albantani, sebagai bahan renungan, dengan terjemahan bebas sebagai berikut:
بلوغ الأمنية (إنارة الدجى) ص: 215-216
الأمر الثاني: أن اتخاذهم الطعام المذكور إما بدعة محرمة لا تنفذ به الوصية إن كان لنحو نائحة أو رثاء وعلى ذلك حملوا ما رواه أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير ابن عبد الله رضي الله عنه قال: كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة وإما بدعة مكروهة تنفذ بها الوصية عند المالكية وكذا عند الشافعية على الصحيح إن اتخذ لا لنحو ذلك بل لإطعام المعزين لتصريحهم بكراهة اجتماع أهل الميت للعزاء وإما بدعة مندوبة مثاب عليها حيث قصد بذلك إطعام المعزين لدفع ألسنة الجهال وخوضهم في عرضهم بسبب الترك أخذا من أمره صلى الله عليه وسلم: من أحدث في الصلاة بوضع يده على أنفه وعللوه بصون عرضه عن خوض الناس فيه لو انصرف على غير هذه الكيفية إهـ.
Hal kedua: “sesungguhnya penghidangan makanan (oleh keluarga mayit) yang disebutkan ada kalanya”:
– Bid’ah diharamkan yang wasiat tidak dilaksanakan dengan itu, seperti (penghidangan makanan) untuk meratap, dan karena itu ulama mengarahkan Atsar (perkataan sahabat) riwayat Imam Ahmad dan Ibnu majah dengan sanad shohih dari sahabat jarir RA., beliau berkata: “Kami menghitung (menganggap/memasukkan) berkumpul di ahli mayit dan penghidangan makanan termasuk dari ratapan”.
– Bid’ah dimakruhkan yang wasiat dilaksanakan dengan itu, menurut ulama hanafiyyah, begitu pula menurut ulama Syafiiyyah menurut Qoul Shohih, apabila penghidangan makanan bukan untuk meratapi (mayit), karena Ulama menjelaskan makruhnya berkumpulnya (berlama-lama/duduk) ahli mayyit untuk takziah.
– Bid’ah disunnahkan yang mendapatkan pahala, apabila bertujuan penghidangan makanan pentakziah untuk menghindari gunjingan orang awam dengan sebab meninggalkan hal tersebut, dan ini berpegangan pada perintah nabi SAW. Yakni bagi orang yang hadast waktu sholat, untuk meletakkan tangan di hidungnya, para ulama memberikan alasan hal tersebut untuk menjaga harga diri dari gunjingan orang lain kalau tidak memakai cara tersebut.
dan juga dalam nihayatuzzain imam nawawi albantani memisahkan antara pahala shodaqoh dan perayaan tujuh hari dst….
berikut terjemahan bebas dari santri ndeso:
نهاية الزين ص: 281
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل والتقييد ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاد شيخنا يوسف السنبلاوي أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في كشف اللثام إهـ
Shodaqoh/sedekah untuk mayit dengan cara yang sesuai syariat adalah dicari (di sunnahkan), dan adanya sedekah tersebut tidak terikat dilakukan pada hari ketujuh atau lebih banyak atau lebih sedikit, sedangkan ikatan waktu Cuma kebiasaan saja (bukan suatu keharusan), seperti fatwa Sayyid Ahmad Dahlan “Dan terlaku kebiasaan manusia bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian mayit, hari ketujuh, sempurnanya hari ke dua puluh dan ke empat puluh, setelah itu dilakukan setahun sekali pada hari kematian mayyit”, seperti faidah Syaikh Yusuf As Sanbalawi. Sedangkan makanan di perkumpulan manusia pada malam kematian mayyit yang dinamakan Wahsyah (nggersah:jawa) adalah makruh, selama tidak diambilkan dari harta anak yatim, kalau diambilkan dari harta anak yatim maka haram, seperti dalam kitab Kasyful Litsam.
oia terakhir kali mohon maaf untuk temen2 yang posting disini, terkhusus mas admin bamah, untuk kelancangan saya posting di sini bukan berarti saya menggurui panjenengan semua, karena guru anda syaikh alwi almaliki termasuk orang yang paling saya hormati. salam dari nganjuk jawa timur
Kalo ulama beda pendapat, trus qt gmn donk?
1. Ikutin salah satu?
2. Ikutin kedua2x?
3. Tinggalkan semuanx?
Trus gw denger islam rahmatan lil alamin? Dmn letaknye? Nasib nasib jd orang awam. Salah gw sendiri sih, gak ndalemin agame, ngaji lewat gogel bener gak ye? Mudah2an bener, amin3x.
Perkenankan saya melengkapi keterangan saudara Lasykar yang mengutip kitab TUHFATUL AHWAZI di atas.
Al-Mubarakhfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi berkata :
قلت: قد وقع في المشكاة لفظ داعي امرأته بإضافة لفظ امرأة إلى الضمير وهو ليس بصحيح بل الصحيح داعي امرأة بغير الإضافة، والدليل عليه أنه قد وقع في سنن أبو داود: داعي امرأة بغير الإضافة. قال في عون المعبود: داعي امرأة كذا وقع في النسخ الحاضرة، وفي المشكاة: داعي امرأته بالإضافة انتهى. وروى هذا الحديث الإمام أحمد في مسنده ص 293 ج 5 وقد وقع فيه أيضاً: داعي امرأة بغير الإضافة بل زاد فيه بعد داعي امرأة لفظ: من قريش، فلما ثبت أن الصحيح في حديث عاصم بن كليب هذا لفظ: داعي امرأة بغير إضافة امرأة إلى الضمير، ظهر أن حديث جرير المذكور ليس بمخالف لحديث عاصم بن كليب هذا فتفكر. هذا ما عندي والله تعالى أعلم.
قوله: “هذا حديث حسن” وصححه ابن السكن، والحديث أخرجه أبو داود وابن ماجه.
Aku katakan : Dalam Al-Misykat disebutkan, redaksi (داعي امرأته) dengan menyandarkan kata (امرأة) kepada dhomir. Hal ini tidak benar. Tetapi yang benar adalah (داعي امرأة ) tanpa penyandaran. Dalilnya adalah bahwa terdapat dalam Sunan Abu Dawud : (داعي امرأة) tanpa penyandaran. Dikatakan dalam ‘Aunul Ma’bud : (داعي امرأة). Demikianlah yang terdapat dalam naskah-naskah sekarang. Dalam Al-Misykat disebutkan, redaksi (داعي امرأته) dengan penyandaran (idzofah).
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad nya (hal. 293, juz 5), di dalamnya juga disebutkan, (داعي امرأة ) tanpa penyandaran, bahkan ditambahkan di dalamnya setelah (داعي امرأة ) redaksi (من قريش). Ketika sudah terang bahwa yang benar dalam hadits Ashim bin Kulaib ini adalah redaksi (داعي امرأة) tanpa penyandaran (امرأة ) kepada dzomir, nyatalah bahwa hadits Jarir yang telah disebutkan tidak bertentangan dengan hadits Ashim bin Kulaib ini. Maka renungkanlah. Demikianlah menurutku. Wallahu a’lam.
[Tuhfatul Ahwadzi 4/67]
Kesimpulan : Al-Mubarakhfuri berpendapat :
– Seorang perempuan yang mengundang Rasulullah dan para sahabat makan-makan di rumahnya adalah seorang perempuan yang tidak ada hubungannya dengan si mayat.
– Hadits Ashim bin Kulaib (tentang peristiwa di atas) tidak bertentangan dengan hadits Jarir bin Abdullah Bajali tentang larangan berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat.
Mohon koreksi kalau ada yang salah.
Perhatikan hadits riwayat Abu Dawud berikut :
سنن ابى داود
3332- عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو على القبر يوصي الحافر ” أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه ” فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا …. ” . صحيح
Dari Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari laki-laki kaum Anshor, dia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah SEORANG PEREMPUAN, mengundang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menaruh tangannya Shallallahu ‘alaihi wasallam di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan………..dst”
(HR. Abu Dawud no. 3332)
Perhatikan ! SEORANG PEREMPUAN, bukan ISTRI ALMARHUM.
Perhatikan pula hadits riwayat Ahmad berikut :
مسند احمد
• 22562حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ أَخْبَرَهُ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ، فَلَمَّا رَجَعْنَا لَقِيَنَا دَاعِي امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةً تَدْعُوكَ وَمَنْ مَعَكَ إِلَى طَعَامٍ
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu penguburan jenazah, ketika kembali, SEORANG PEREMPUAN QURAISY dan berkata, “Ya Rasulullah, Sesungguhnya Fulanah mengundang engkau dan orang-orang yang bersama engkau untuk makan……dst.”
(HR. Abu Ahmad no. 22562)
Dalam kitab Nailul Authar, hadits di atas masuk dalam bab : “Orang Yang Merampas Kambing Lalu Menyembelihnya Kemudian Membakarnya atau Memasaknya”
Perhatikan! SEORANG PEREMPUAN QURAISY, bukan ISTRI ALMARHUM.
Kesimpulan : Hadist dari Ashim bin Kulaib yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad, menceritakan bahwa yang mengundang makan Rasulullah dan para sahabat tersebut bukan ISTRI ALMARHUM, melainkan SEORANG PEREMPUAN (yang tidak ada hubungan dengan si mayat)
Mohon koreksi kalau ada yang salah.
Sebelum saya memberikan tanggapan pada saudara masnun, perlu diketahui:
1. karena saudara masnun belum/tidak menanggapi Dawuh dari Imam Nawawi Al bantani, maka bisa saya anggap saudara masnun menerima adanya perkhilafan ini.
2. dengan kapasitas saya, saya tidak berani menganggap tahlil pasti masuk dalam pembahasan iitikhodzuddiafah ini, karena seperti yang terlaku di masyarakat daerah saya.
Jadi kesimpulannya dalam tahlil ada kemungkinan terjadinya ittikhodzuddiafah min ahlil mayyit, bukan berarti tahlil pasti ittikhodzuddiafah min ahlil mayyit.
3. dalam tahlil yang ada adalah kumpulan qur’an, hadist dan do’a yang berjibun dalilnya.
4. saya Cuma naqil/muqollid, jadi dalam hal ini andai saja kitab yang diutarakan memang sesuai dengan nash yang ada, insya alloh akan saya pelajari dan akan saya terima dengan lapang dada.
@Bingung
Mas….. itulah indahnya islam, dengan keberagaman yang ada kita bisa mengambil sebuah hikmah, dan perlu diketahui mas bingung:
-tahlil adalah sunah, dilakukan mendapat pahala dan tidak dilakukan juga tidak apa2
-sayapun juga sering cari info via gogel, cuma setelah saya menemukan hal-hal baru biasanya langsung saya sowankan kepada kiai saya, karena menurut saya beliau adalah orang yang mampu menuntun hati saya.
trims atas tanggapannya
Oke, kita mulai pembahasan kita mudah2an kita mendapat hidayah:
Tarjamah saudara Masnun: “Ketika sudah terang bahwa yang benar dalam hadits Ashim bin Kulaib ini adalah redaksi (داعي امرأة) tanpa penyandaran (امرأة ) kepada dzomir, nyatalah bahwa hadits Jarir yang telah disebutkan tidak bertentangan dengan hadits Ashim bin Kulaib ini. Maka renungkanlah. Demikianlah menurutku. Wallahu a’lam.”
Saya:
1. Potensi khilaf dalam kata2: “Maka renungkanlah. Demikianlah menurutku”, sangatlah jelas.
2. terbukti dalam Aunul Ma’bud memang menjelaskan adanya perbedaan redaksi seperti yang telah saya singgung diatas,:
عون المعبود – (ج 7 / ص 315)
(دَاعِي اِمْرَأَة) :كَذَا فِي النُّسَخ الْحَاضِرَة وَفِي الْمِشْكَاة دَاعِي اِمْرَأَته بِالْإِضَافَةِ إِلَى الضَّمِير قَالَ الْقَارِيّ أَيْ زَوْجَة الْمُتَوَفَّى
dengan tarjamah bebas sbb: “(داعي امرأة). Demikianlah yang terdapat dalam naskah-naskah sekarang. Dalam Al-Misykat disebutkan, redaksi (داعي امرأته) dengan penyandaran (idzofah) pada dlomir, Al Qoori berkata: (yang di kehendaki dlomir tersebut) adalah istri Almarhum.
3. Akankah kita menafikan khilaf ini? Sebenarnya antara saya dan saudara maknun Cuma beda pandangan saja, saya berpegang kepada khilafiyyah dan saudara maknun berpegang pada qoul lainnya.
Dalam syarah Al Misykat ada keterangan sebagai berikut:
مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح – (ج 17 / ص 214(
وفي المعجزات عن أبيه لم يذكره المؤلف في أسمائه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله في جنازة بكسر الجيم وفتحها فرأيت رسول الله وهو على القبر أي طرفه والجملة حال يوصي الحافر بتخفيف الصاد وتشدد حال أخرى يقول بيان أو بدل أوسع أمر مخاطب للحافر من قبل رجليه بكسر القاف وفتح الباء أي من جانبهما أوسع من قبل رأسه فلما رجع أي عن المقبرة استقبله داعي امرأته أي زوجة المتوفي فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده أي فيه ثم وضع القوم أي أيديهم فأكلوا هذا الحديث بظاهره يرد على ما قرره أصحاب مذهبنا من أنه يكره اتخاذ الطعام في اليوم الأول أو الثالث أو بعد الأسبوع كما في البزازية وذكر في الخلاصة أنه لا يباح اتخاذ الضيافة عند ثلاثة أيام وقال الزيلعي ولا بأس بالجلوس للمصيبة إلى ثلاث من غير ارتكاب محظور من فرش البسط والأطعمة من أهل الميت وقال ابن الهمام يكره اتخاذ الضيافة من أهل الميت والكل عللوه بأنه شرع في السرور لا في الشرور قال وهي بدعة مستقبحة روى الإمام أحمد وابن حبان بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعهم الطعام من النياحة انتهى فينبغي أن يقيد كلامهم بنوع خاص من اجتماع يوجب استحياء أهل بيت الميت فيطعمونهم كرها أو يحمل على كون بعض الورثة
Terjamah bebas: “hadist ini dengan memandang dzohirnya, memberikan kesimpulan seperti para sahabat madzhab kita, yakni dimakruhkan perjamuan makanan pada hari pertama atau ketiga atau setelah seminggu seperti dalam kitab bazaziyah, dan dijelaskan dalam kitab khulasoh bahwa tidak diperbolehkan mengambil suguhan pada hari ketiga, Imam Zayla’I berkata: “Tidak apa2 duduk duduk untuk musibah sampai hari ketiga tanpa melakukan perbuatan yang di larang, (baik duduk) dengan membeber alas, sedangkan makanan diambil dari ahli mayit”……dst
Saya:
– Terbukti dalam menanggapi hadist diatas Imam Zailai berkata: “Tidak apa2 duduk duduk untuk musibah sampai hari ketiga tanpa melakukan perbuatan yang di larang, (baik duduk) dengan membeber alas, sedangkan makanan dari ahli mayit” walaupun Imam Lainnya mengatakan makruh sampai bid’ah madzmumah.
– padahal kita tahu bahwa iitikodzuddiafah adalah perkembangan dari Ma’tam seperti dawuh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’
المجموع شرخ المهذب الجزء الخامس ص: 280
وَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ رحمه الله فِي الْأُمِّ: وَأَكْرَهُ الْمَآتِمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ, فَمُرَادُهُ الْجُلُوسُ لِلتَّعْزِيَةِ وَقَدْ سَبَقَ بَيَانُهُ.
“Maksud dari dawuh Imam Syafi’I dalam kitab Al Umm: aku menghukumi makruh Ma’tam, dan yakni sebuah kelompok, dan walaupun tidak ada tangisan. Adalah Duduk (berlama-lama dan berkumpul) pada waktu Ta’ziah (melayat setelah mayit di kubur), dan keterangannya telah lampau”.
– jadi alangkah indahnya kita akomodir khilaf ini, dan tebarkan islam yang rohmatan lil ‘alamin
Yang dipermasalahkan oleh para ulama yang saya kutip di atas adalah kegiatan berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat, bukan masalah sedekah, atau menghormati tamu.
Perkenankan saya meringkas pendapat para ulama tentang berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat :
1. Imam Nawawi : BID’AH DAN TIDAK DIANJURKAN
2. Al-Bakri Dimyati : MAKRUH (DIBENCI)
3. Imam Zaenudin : MAKRUH (DIBENCI)
4. Syeikh Zakaria Al-Anshary : BID’AH YANG TERCELA
5. Syeikh Faishal bin Abdul Aziz Al-Mubarak : MENYELISIHI SUNNAH
6. Ibnul Qayyim Al-Jauziah : BID’AH YANG DIBENCI
7. Sayyid Sabiq : BID’AH YANG MUNFKAR.
Dan pendapat-pendapat di atas juga sejalan dengan pendapat Imam Nawawi Al bantani, yang dikutip saudara Evast dan saudara Lasykar :
”Sedangkan makanan di perkumpulan manusia pada malam kematian mayyit yang dinamakan Wahsyah (nggersah:jawa) adalah makruh, selama tidak diambilkan dari harta anak yatim, kalau diambilkan dari harta anak yatim maka haram, seperti dalam kitab Kasyful Litsam”.
Dan sejalan pula dengan pendapat Al-Mubarakhfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, yang saya kutip di atas :
”Ketika sudah terang bahwa yang benar dalam hadits Ashim bin Kulaib ini adalah redaksi (داعي امرأة) tanpa penyandaran (امرأة ) kepada dzomir, nyatalah bahwa hadits Jarir yang telah disebutkan tidak bertentangan dengan hadits Ashim bin Kulaib ini. Maka renungkanlah. Demikianlah menurutku. Wallahu a’lam.”
Namun kita tidak boleh menafikan pendapat dalam kitab ’Aunul Ma’bud, dan Al-Misykat yang menggunakan hadits Ashim bin Kulaib sebagai dalil bolehnya makan-makan di rumah keluarga mayat.
Biarlah para pembaca forum ini merenungkan dan menyimpulkan sendiri pendapat-pendapat para ulama di atas.
Sekarang bagaimana dengan kegiatan Tahlilan?
Tahlilan biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat?
Sepanjang yang baca dari kitab-kitab Fiqih para ulama, termasuk para ulama Syafi’iyah, saya belum menemukan ulama yang membahas masalah tahlilan kematian pada hari pertama sampai ke tujuh setelah kematian, pada kitab-kitab mereka.
Oleh karena itu dalam forum ini perkenankan saya mjengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1. Siapakah ulama yang berpendapat bahwa tahlilan pada hari pertama sampai hari ke tujuh setelah kematian, adalah sunnah?
2. Siapakah ulama yang berpendapat bahwa tahlilan pada hari pertama sampai hari ke tujuh setelah kematian, adalah bid’ah hasanah?
Saya akan sangat bergembira jika ada pembaca forum ini yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dengan menunjukkan kitab rujukannya.
Saudara masnun: Yang dipermasalahkan oleh para ulama yang saya kutip di atas adalah kegiatan berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat, bukan masalah sedekah, atau menghormati tamu.
Saya: Maaf saudara Masnun, tadi telah saya singgung bahwa dalam bulughul Umniyyah kan ada lafadz:
وإما بدعة مندوبة مثاب عليها حيث قصد بذلك إطعام المعزين لدفع ألسنة الجهال وخوضهم في عرضهم بسبب الترك أخذا من أمره صلى الله عليه وسلم: من أحدث في الصلاة بوضع يده على أنفه وعللوه بصون عرضه عن خوض الناس فيه لو انصرف على غير هذه الكيفية إهـ
-“ Bid’ah disunnahkan yang mendapatkan pahala, apabila bertujuan penghidangan makanan pentakziah untuk menghindari gunjingan orang awam dengan sebab meninggalkan hal tersebut, dan ini berpegangan pada perintah nabi SAW. Yakni bagi orang yang hadast waktu sholat, untuk meletakkan tangan di hidungnya, para ulama memberikan alasan hal tersebut untuk menjaga harga diri dari gunjingan orang lain kalau tidak memakai cara tersebut.”
Coba di telaah ulang, kalau pemahaman saya:
1. Adanya perkhilafan.
2. dan ibarat diatas bukan menjelaskan sedekah atau menghormati tamu, coba anda telaah lafadz yang ada sebelum ibarat diatas sbb:
ما قولكم دام فضلكم ونفعناالله بعلومكم فيما إذا اتخذ أهل الميت الكاملون طعاما ويدعون القراء وغيرهم لأجل القراءة والتهليل والدعاء للميت إلى أن ٌقال… الأمر الثاني: أن اتخاذهم الطعام المذكور…..
“Apa pendapatmu – mudah2an keutamaan senantiasa menaungimu, dan Alloh memberikan manfaat dengan Ilmumu- tentang masalah apabila ahli mayit yang sempurna membuatkan makanan, mengundang pembaca al qur’an dan lainnya untuk membaca al qur’an dan, tahlil dan do’a”….. Sampai kata2 Hal kedua: “sesungguhnya penghidangan makanan (oleh keluarga mayit) yang disebutkan ada kalanya”:
Ini adalah merupakan Tanya jawab tentang seputar pelaksanaan tahlilan dst…. Coba anda cek kitab aslinya, dan ternyata ada khilaf 3 qoul seperti yang saya jelaskan diatas.
Saudara masnun: Yang dipermasalahkan oleh para ulama yang saya kutip di atas adalah kegiatan berkumpul dan makan-makan di rumah keluarga mayat, bukan masalah sedekah, atau menghormati tamu.
Saya: Dan juga coba ditelaah ulang dawuh imam nawawi dalam bab sedekah yang anda maksud
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل والتقييد ببعض الأيام من العوائد فقط
“Shodaqoh/sedekah untuk mayit dengan cara yang sesuai syariat adalah dicari (di sunnahkan), dan adanya sedekah tersebut tidak terikat dilakukan pada hari ketujuh atau lebih banyak atau lebih sedikit, sedangkan ikatan waktu Cuma kebiasaan saja (bukan suatu keharusan),”
Kalau menurut pemahaman saya:
1. Bukankah Ulama yang memakruhkan (Mis: Imam Nawawi) tidak membedakan antara shodaqoh dan tidak?
2. Kalau ada yang membedakan dari ulama yang sepakat dengan Imam Nawawi, tolong sebutkan? Saya malah berterima kasih sebesar-besarnya pada anda.
3. titik tekan pada penghidangan ini kan masalah memberatkan keluarga mayit/meratap? Malah berkumpul aja tanpa ada minuman, makanan dll kan juga termasuk Ma’tam kan saudara masnun?
4. seakan-akan dari komentar anda setelah kematian mayit keluarga mayit memberikan sedekah boleh? Benarkah? Tolong sebutkan dasar selain dari imam Nawawi, saya akan sangat berterimakasih.
Saudara Masnun: Biarlah para pembaca forum ini merenungkan dan menyimpulkan sendiri pendapat-pendapat para ulama di atas.
Saya: terima kasih atas pendapat anda, dan saya anggap anda menerima dalil khilaf yang saya paparkan. Sebenarnya kita tidak berbeda kok mas masnun…. Kamipun (santri) juga akan melakukan amar makruf nahi munkar dengan metode kami, kalau ada kemunkaran. Dan pendapat yang di fatwakan ulama-ulama kita seperti imam nawawi, imam ghozali senantiasa menaungi kalbu kami, namun kami memahami bahwa tahlilan ternyata bukanlah pasti ittikhodzuddziafah min ahlil mayyit, karena tahlil lebih luas daripada itu.