Nahi munkar yang dilakukan FPI biasanya dilakukan secara bertahap sesuai Prosedur Tetap (Protap) FPI, yaitu pertama menerima pengaduan masyarakat, kemudian melaporkan kemunkaran tersebut kepada pihak berwajib. Apabila setelah beberapa kali laporan masih juga tidak ada tindakan dari pihak aparat, barulah FPI terpaksa melakukan porsinya. Yakni dengan beberapa kali himbauan, yang kalau masih juga tidak digubris, akan dilanjutkan dengan tindakan sweeping oleh Lasykar Pembela Islam (LPI) yang merupakan organisasi sayap FPI, dengan dibantu oleh masyarakat setempat. Untuk cara dakwah yang khas ini (nahi munkar / mencegah kemunkaran) Ketua Umum FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab mempunyai pendapat tersendiri sebagaimana dirangkum oleh penulis, Ali Akbar bin Agil, yang dikutip oleh Suara Islam berikut ini :
Membela Sang Pembela: Antara Penanam Padi dan Pembasmi Tikus
Oleh: Ali Akbar bin Agil
Aktivis Majelis Ta`lim di Kota Malang
Pemimpin Majlis Dzikir Adz-Dzikra KH. Muhammad Arifin Ilham dalam foto terbarunya di album “Cinta Allah, Cinta Dakwah & Mencintai Semua Mereka yang Berdakwah” yang ada di akun Facebook-nya memberi penegasan tentang posisi beliau dalam membaca dan menganalisa upaya pembubaran FPI dari sekelompok para bencong, waria, gay, lesbi, yang dimotori oleh Jaringan Islam Liberal asuhan Ulil Abshar Abdallah dan Guntur Romli.
Dalam keterangan di foto tersebut, KH. Arifin Ilham menulis sebagai berikut, “Pesan tercinta ayahanda Habib Riziq Syihab: ‘Ustadz Arifin, teruslah Antum berdakwah menanam padi, biar habib yang jaga tikusnya’, Subhanallah.’”
Menanam padi dan membasmi tikus, itulah inti pesan yang disampaikan oleh Habib Rizieq kepada Sang Kyai. Dalam foto tersebut tampak beliau sedang bercengkrama akrab sekali dengan Habib Rizieq.
Habib Rizieq sendiri kerap menyitir kalimat yang sarat kandungan filosofis ini. Dalam berbagai kesempatan, Habib menjelaskan kepada umat bahwa posisi FPI adalah pembasmi tikus-tikus yang merusak sawah dan lahan dakwah para ulama.
Nyaris, semua orang tanpa terkecuali bisa melakukan perintah kebaikan, dengan segala kemampuan yang ada. Ibarat petani, amar ma`ruf adalah fase bercocok tanam, menebar dan menanam benih, menyiram, lalu pada akhirnya memanen hasilnya.
Sementara, FPI yang digawangi oleh Sang Habib adalah kelompok petani dari umat Islam yang bertugas menjaga sawah, membasmi hama dan tikus yang akan merusakan jerih payah para petani itu.
Maka, jika semua unsur umat Islam sibuk bercocok tanam, namun tidak membasmi hama dan tikus, lalu kapan hasil akan dituai dan dinikmati oleh umat ? Kapan juga umat akan menikmati hasil bercocok tanam itu, jika semua orang ikut ambil bagian dalam membasmi hama dan tikus?
Semuanya perlu bersinergi dan saling menjaga kekompakan serta persatuan. Para petani yang bercocok tanam tidak usah risau dengan aksi para pembasmi hama karena memang itu sudah tugas dan kebutuhan para petani juga. Dan para pembasmi hama tidak perlu merasa besar dada sebab buat apa membasmi hama kalau tak ada yang menanam, bukan. Semuanya mempunyai peran dan fungsi yang saling menguntungkan. “Man Zara`a Hashada,” (Siapa yang menanam ia akan mengetam). Biarlah para petani itu bercocok tanam dengan tenang dan nyaman, serahkan tugas pembasmian tikus dan hama kepada petani yang sudah siap sedia dengan segala konsekuensinya, terkena gigitan, terluka, bahkan menemui ajalnya.
Dakwah yang disemai oleh para Dai dan Kyai tidak akan menghasilkan produk yang baik dan berkualitas jika terus diganggu oleh tikus-tikus yang menggerogoti tumbuh-tumbuhan. Padahal, semakin hari tikus-tikus ini semakin banyak jumlahnya, mereka berkoalisi dengan para pemilik media massa sekuler-liberal dan tempat-tempat kemaksiatan.
Tidak ada manusia yang kebal dari godaan kemaksiatan, besar-kecilnya. Lalu, siapakah yang berani membasminya? Tidak lain adalah aparat penegak hukum. Bagaimana, jika aparatnya justru ada yang bermain mata dengan pemilik tempat-tempat kemaksiatan, apakah kita hanya diam terpaku, membisu, diam seribu bahasa, yang penting kita ikut ngaji, orang lain mau maksiat, peduli setan? Tentu sikap ini termasuk sikap ananiyah, sikap yang egois.
Ketika masyarakat sudah jemu dan jenuh dengan ketidaktegasan aparat dalam membasmi tikus-tikus, ketika keadilan dan kenyamanan untuk menjalankan agama diganggu oleh tikus yang berwujud dalam aliran sesat macam Ahmadiyah, pemikiran liberal macam JIL, merusak lahan dakwah para ulama, maka lahirlah FPI dengan segala kekurangan dan kelebihannya. FPI mencoba “menggantikan” peran aparat yang tumpul bahkan beberapa diantaranya ikut ambil bagian membantu para gerombolan tikus. Jika sudah demikian, masihkan kita menyalahkan FPI lalu menuntut agar dibubarkan karena dianggap biang kerok anarkis dan kekerasan di Bumi Pertiwi ? FPI tidak perlu ada di Tanah Air manakala hukum ditegakkan seadil-adilnya kepada mereka yang merusak akidah dan kehidupan beragama para warga masyarakat.
Barangsiapa yang mampu menanami sawah, tanamlah dengan baik dan benar. Tanamilah hati dan pikiran umat dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Serahkan pembasmian tikus pada petani lainnya. Jika tidak bisa kedua-duanya, berilah dukungan dan doa kepada Ilahi Allah Rabbul Izzati. Kalaupun doa dan dukungan enggan diberikan, diamlah. Diamlah karena barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia berkata baik atau diam. [KbrNet/SI/adl]
sumber: https://kabarnet.wordpress.com/2012/03/05/ulama-menanam-padi-fpi-membasmi-tikusnya/
One comment
Pingback: Homepage